Tgl: 15 Mei 2007
Pukul: 19:23 WIB
"Diri ku yang sedang mencari penyegaran berfikir dalam kemalasan, dihadapkan oleh sebuah instruksi atraktif untuk berfikir...."
Bargaining Power dalam Perjanjian Ekstradisi vis-à-vis Perjanjian Kerjasama Pertahanan
Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir sejak tahun 2004, hubungan luar negeri antara
Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap perjanjian tersebut disepakati setelah melalui proses yang panjang dan sering kali tidak mudah. Pada akhirnya semangat kerjasama dan hubungan baik sebagai dua negara yang bertetangga yang berhubungan baik, maka dengan semangat kerjasama dan ”give and take” serta orientasi ke depan dalam membangun hubungan kedua negara, perjanjian-perjanjian itu dapat disepakati. Memang patut untuk dipahami bahwa sebuah perjanjian kerjasama bilateral dapat dilihat adalah sebagai hasil refleksi tarik-menarik dan tawar-menawar antara dua negara yang berbenturan kepentingan.
Keraguan atas pelaksanaan setiap poin dari perjanjian kerjasama tersebut masih membuncah di dalam sanubari masyarakat
Sebagai komparasi head-to-head antara kedua perjanjian dimaksud, dapat dipahami bahwa secara garis besar perjanjian ekstradisi dan perjanjian AMLA merupakan dua perjanjian dengan materi, tujuan dan mekanisme yang berbeda dan pada kedudukan tertentu dapat saling melengkapi. Secara kasat mata, perjanjian ekstradisi tidak serta merta dapat mengembalikan aset hasil kejahatan karena tujuan awal dari perjanjian tersebut tidak digunakan untuk pemulangan aset, melainkan sebagai perangkat hukum untuk membawa pulang pelaku tindak pidana yang melarikan diri ke Singapura dan melanjutkan proses pengusutan dan peradilannya di Indonesia. Sebaliknya dalam perjanjian AMLA secara eksplisit ditegaskan bahwa tujuan perjanjian tersebut adalah sebagai perangkat hukum untuk mengembalikan aset hasil kejahatan dan meminimalisir kerugian negara yang telah ditimbulkan, sehingga tujuan awalnya tidak diperuntukkan sebagai perangkat hukum penyerahan pelaku tindak pidana.
Terhadap beban kepentingan
Juga terobosan terhadap diterimanya proses peradilan in absentia untuk ekstradisi dengan syarat terhadap pelaku tindak pidana tersebut harus dilakukan peradilan kembali yang fair, justru bertentangan secara diametral dengan prinsip ”ne bis in idem (seseorang tidak dapat dituntut untuk kedua kali dalam perkara yang sama yang dianut secara universal) yang di atur dalam Pasal 76 KUHP. Dengan kata lain, setiap terobosan dalam ekstradisi tersebut dapat pula merugikan Indonesia karena adanya ketentuan ”peradilan ulang terhadap tindak pidana yang diekstradisikan” yang nyata bertentangan dengan prinsip peradilan Indonesia sendiri sehingga tidak lazim diterapkan dalam kasus pidana.
Permasalahan dan tantangan dalam persoalan perluasan perjanjian ekstradisi adalah persoalan-persoalan yang berkaitan dengan prioritas dan kepentingan politik masing-masing negara yang dapat bertentangan satu sama lain, sehingga dapat menambah kompleksitas permasalahan ekstradisi dalam implementasinya. Permasalahan lain yang lebih bersifat teknis prosedural adalah masih lemahnya koordinasi di antar lembaga antar jajaran instansi pemerintah untuk menyempurnakan Undang Undang No. 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi.
Masalah perbandingan tersebut menjadi krusial apabila perjanjian Treaty of Extradition disandingkan dengan perjanjian kerjasama pertahanan, atau Defence Cooperation Agreement (DCA). Kecurigaan banyak pihak di
Yang dikhawatirkan bahwa dalam perjanjian pertahanan tersebut adalah ketentuan dibolehkannya mengikutsertakan pihak ketiga dalam latihan militer yang dilakukan di dalam wilayah
Masalah kedua dalam perjanjian pertahanan tersebut adalah, penegasan bahwa hukum
Pemberian wilayah latihan bersama (military training area – MTA), contohnya adalah MTA Tanjung Pinang dan MTA Laut China Selatan, juga ditengarai dapat melanggar kedaulatan Indonesia, mengingat kejadian sebelumnya pada tahun 2003, dimana Singapura melibatkan Amerika Serikat dan Australia dalam latihan militernya di wilayah tersebut. Belum lagi permasalahan kerjasama kedua negara dalam pembangunan Pusat Latihan Tempur (Puslatpur) Batujajar di Sumsel juga terkendala, terutama dalam pemanfaatan fasilitas-fasilitas di Puslatpur tersebut. Dengan lahan seluas 43.000 Ha menjadikannya lahan latihan tempur terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara, namun sejalan dengan perkembangan kepadatan penduduk di kawasan tersebut, mengakibatkan kawasan tersebut menjadi tidak kondusif lagi untuk latihan militer. Selain itu, dengan biaya pembangunan pusat pelatihan yang sebagian besar ditanggung oleh pihak Singapura, mengakibatkan Singapura beralasan untuk meminta revisi terhadap perjanjian DCA dilakukan setidaknya setiap 13 tahun sekali.
Pertimbangan lain pemerintah untuk memajukan perjanjian DCA tersebut adalah terkait dengan keterbatasan anggaran pertahanan, apa yang dilakukan oleh pemerintah merupakan stimulasi untuk mempercepat modernisasi fasilitas dan alat utama sistem persenjataan (alutsista). Kerja sama pertahanan dengan Singapura adalah upaya mempertegas komitmen untuk membangun postur pertahanan, dengan pola yang berbeda. Ketiadaan anggaran menjadi momok menakutkan dalam membangun postur dan sistem pertahanan. Perjanjian pertahanan dengan Singapura adalah bagian dari membuka cakrawala agar mampu menstimulasi upaya membangun postur dan sistem itu.
Dalam perspektif kajian strategis, apa yang dilakukan oleh RI adalah upaya mengintegrasikan pembangunan kemiliteran dengan memanfaatkan negara yang fasilitas dan postur pertahanannya lebih baik. Hal ini menjadi suatu bentuk saling mempengaruhi, baik dalam perumusan ancaman, strategi, hingga pada pengembangan kolektivitas pertahanan untuk regional ASEAN. Sebab, pola perjanjian pertahanan, yang dilakukan oleh negara-negara ASEAN terkesan setengah hati dan relatif terbatas pada pelatihan bersama dan pengamanan perbatasan (border security).
Tetapi, dengan melihat deterrence dari kekuatan pertahanan Singapura, langkah strategis
Wallahualam Bi Shawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar