sekedar ungkapan, pernyataan, guyonan, makian kadang cacian....

Sabtu, 26 Mei 2007

Akhirnya Kembali Ke Kepailitan....















Tgl: 26 Mei 2007
Pukul: 16:10 WIB

“.....saya yang sedang menghadapi kerusakan mental secara struktural, kemalasan yang semakin membuat terpuruk dan kerendahan harapan, tiba-tiba teringat masa lalu dan memulai lagi perjalanannya.....”


KEWENANGAN MENGADILI PENGADILAN NIAGA TERHADAP PERMOHONAN PAILIT DENGAN KLAUSULA ARBITRASE

I. Pendahuluan

Gejolak moneter yang melanda Asia pada pertengahan tahun 1997 turut pula menyerang dan merusak tatanan pilar ekonomi Indonesia. Ditandai dengan jatuhnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat pada tanggal 14 Agustus 1997, yakni dengan berubahnya sistem pertukaran menjadi free-floating system, berakibat dengan nilai Rupiah yang terjun bebas dan terjadinya inflasi tinggi.

Kondisi demikian telah mengakibatkan sejumlah perusahaan yang memiliki pinjaman dalam bentuk Dollar Amerika Serikat tidak mampu untuk memenuhi kewajiban pembayaran utangnya. Sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk menyelesaikan persoalan tersebut, termasuk pula untuk meningkatkan kembali kepercayaan investor asing terhadap jaminan penanaman modalnya di Indonesia dan memberikan dasar hukum yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan utang-piutang, maka pada tanggal 22 April 1998, pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Kepailitan guna menyempurnakan ketentuan kepailitan sebagaimana diatur dalam Failissement Verordening Staatsblad No. 217 tahun 1905 jo Staatsblad No. 384 tahun 1906. Perpu tersebut disahkan sebagai Undang-undang No. 4 tahun 1998 tentang Kepailitan (UUK) pada tanggal 24 Juli 1998. Sejalan tuntutan perkembangan masyarakat, ketentuan tersebut dirasa belum mampu memenuhi kebutuhan hukum masyarakat, sehingga perlu dilakukan perubahan yang ditetapkan pada tanggal 18 Oktober 2004 melalui Undang-undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,

Untuk melaksanakan mandat Pasal 281 ayat (1) Perpu No. 1 tahun 1998, telah dibentuk Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai pengadilan khusus dalam lingkup peradilan umum sesuai dengan Pasal 10 Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana telah diperbarui dan tertuang dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dengan salah satu kewenangannya untuk menangani permasalahan kepailitan. Selanjutnya, guna memperluas wilayah cakupan kerja Pengadilan Niaga, didirikan Pengadilan Niaga di Makassar, Surabaya, Medan dan Semarang, dengan Keputusan Presiden No. 97 tahun 1999.

Dengan dibentuk dan didirikannya Pengadilan Niaga tersebut, maka setiap penyelesaian sengketa niaga, khususnya untuk menyelesaikan permohonan kepailitan, seperti pembuktian dan verifikasi utang, actio pauliana, hingga pemberesan harta pailit, menjadi kewenangan absolut Pengadilan Niaga. Sebagai catatan, selain memiliki kewenangan absolut terhadap setiap perkara kepailitan sebagai pelaksanaan amanah Perpu No. 1 tahun 1998, sebagai perluasan kewenangan, Pengadilan Niaga memiliki kompetensi pula untuk menyelesaikan beberapa sengketa di bidang perdagangan, terutama Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) sebagaimana telah dialokasikan dari beberapa ketentuan perundang-undangan HaKI. Hal tersebut dipahami seperti tertuang dalam 50 program utama yang disyaratkan oleh International Monetary Fund (IMF) di dalam Letter of Intent kepada pemerintah Indonesia, ide dasar pembentukan Pengadilan Niaga tidak hanya semata untuk menyelesaikan permasalahan kepailitan, namun juga untuk menangani permasalahan di bidang perdagangan lainnya yang membutuhkan penanganan dalam jangka waktu yang singkat dan efektif namun tetap memperhatikan jaminan dan kepastian hukum, mengingat filosofi perdagangan itu sendiri yang menganut prinsip “time is money”.

Namun demikian, sebagaimana diketahui dalam hubungan dagang yang dilandasi dengan perjanjian, tidak tertutup pula adanya kemungkinan para pihak memilih penyelesaian sengketa dagang –termasuk pula penyelesaian perselisihan utang-piutang, melalui forum Arbitrase. Banyak pelaku bisnis yang lebih memilih penyelesaian sengketa secara Arbitrase dan dituangkan ke dalam perjanjian yang melandasi hubungan dagang di antara keduanya. Hal tersebut disebabkan antara lain karena karakteristik Arbitrase yang menawarkan penyelesaian sengketa dagang secara lebih efektif dan efisien melalui prinsip umum yang diterapkannya, seperti; kebebasan para pihak untuk menentukan pilihan forum (choice of forum) dan pilihan hukum (choice of law), acara pemeriksaan yang bersifat private and confidential, adanya kepastian waktu proses penyelesaian, serta tentunya prinsip final and binding terhadap hasil keputusan Arbitrase yang lebih menjamin kepastian hukum terhadap kedua pihak.

Melihat permasalahan tersebut, maka timbul pertanyaan terkait kewenangan Pengadilan Niaga terhadap permohonan kepailitan atas perjanjian hubungan dagang dengan klausula Arbitrase. Lembaga peradilan mana yang memiliki kewenangan absolut untuk memeriksa permohonan tersebut, apakah Arbitrase? Atau Pengadilan Niaga? Pertanyaan tersebut wajar muncul, mengingat Pengadilan Niaga sebagaimana telah diulas dalam ilustrasi di atas disebutkan memiliki kewenangan absolut terhadap setiap sengketa kepailitan, sedangkan Arbitrase memiliki kewenangan penuh terhadap setiap perselisihan dagang yang diserahkan oleh para pihak dalam perjanjian yang menuangkan adanya kesepakatan pactum de compromittendo/klausula Arbitrase (Pasal 615 Reglement op de Rechtsvordering).

II. KEPAILITAN DAN KLAUSULA ARBITRASE, EXTRA ORDINARY COURT VERSUS EXTRA JUDICIAL COURT

Kasus kepailitan dalam perkara No. 14 K/Pailit/1999/PN.Niaga Jkt.Pst antara PT Environmental Network Indonesia, dkk (PT Enindo) sebagai Pemohon Pailit melawan PT Putra Putri Fortuna Windu, dkk sebagai Termohon Pailit, yang telah dijatuhkan putusan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tanggal 31 Maret 1999 adalah salah satu preseden konflik kewenangan antara Pengadilan Niaga dengan Arbitrase terhadap perkara kepailitan. Dalam pertimbangan hukumnya, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat berpendirian tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus permohonan kepailitan tersebut, dengan alasan adanya klausula Arbitrase dalam perjanjian. Ternyata, kemudian dalam putusannya terhadap permohonan Peninjauan Kembali dalam kasus tersebut, Mahkamah Agung dalam putusan No. 013 PK/N/1999 tanggal 2 Agustus 1999 membatalkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan mengadili sendiri serta menyatakan bahwa Pengadilan Niaga berwenang mengadili permohonan pailit tersebut.

Untuk mempertegas kewenangan absolut Pengadilan Niaga terhadap perkara kepailitan, dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Agung menyatakan bahwa Pasal 280 ayat (1) Perpu No. 1 tahun 1998 yang telah ditetapkan menjadi Undang-undang No. 4 tahun 1998 telah meletakkan Pengadilan Niaga sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam struktur Pengadilan Negeri dengan kewenangan khusus berupa yurisdiksi substansif eksklusif terhadap penyelesaian perkara kepailitan. Dengan status hukum dan kewenangan (legal status and power), Pengadilan Niaga memiliki kapasitas hukum (legal capacity) untuk menyelesaikan permohonan pailit.

Dengan posisi tersebut, Pengadilan Niaga memiliki kewenangan absolut dalam kedudukannya sebagai extra ordinary court yang diberikan melalui amanat Perpu No. 1 tahun 1998 jo Undang-undang No. 4 tahun 1998 sebagai special law untuk mengadili dan menyelesaikan permohonan pailit dan insolvensi. Yurisdiksi substansif eksklusif tersebut mengangkat dan mengesampingkan kewenangan absolut dari Arbitrase sebagai pelaksanaan prinsip pacta sunt servanda yang digariskan dalam Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang telah memberikan pengakuan extra judicial atas klausula Arbitrase untuk menyelesaikan sengketa para pihak sebagaimana telah diperjanjikan.

Klausula Arbitrase baru dapat memiliki kewenangan absolut untuk mementahkan hak memeriksa dan mengadili apabila berhadapan dengan kewenangan absolut Pengadilan Negeri. Kedudukan tersebut telah ditegaskan dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase jo Pasal 3 Undang-undang No. 14 tahun 1970 jo Pasal 377 Herzien Inlandsch Reglement jo Pasal 615-651 Reglement op de Rechtsvordering.

Preseden serupa dengan putusan pada tingkat pertama menyatakan Pengadilan Niaga tidak berwenang terjadi pula antara PT Basuki Pratama Engineering (BPE), dkk melawan PT Megarimba Karyatama (MK), pada putusan No. 32/Pailit/1999/PN.Niaga.Jkt.Pst, Majelis Hakim Niaga berpendapat bahwa apabila suatu perkara terikat dengan klausula Arbitrase, dalam hal ini terdapat klausula Arbitrase dalam Perjanjian Kontraktor pembangunan Megarima Karyatama Medium Density Fibreboard antara BPE dengan MK, maka sengketa tersebut haruslah diselesaikan melalui Arbitrase. Majelis Hakim menggunakan Yurisprudensi Mahkamah Agung yang termaktub dalam putusan MA No.455 K/SIP/1982 tanggal 27 Mei 1983 jis MA No.225 K/Sip/Pdt/1976 tanggal 30 September 1983 jis MA No.3179 K/Sip/Pdt/1984 tanggal 4 Mei 1988. Atas dasar tersebut Majelis Hakim Niaga berkesimpulan bahwa perkara ini menjadi kewenangan absolut arbitrase dan oleh karenanya tidak dapat diperiksa oleh P. Niaga. Permohonan pailit ditolak.

PT. BPE dan PT. MSM mengajukan permohonan kasasi dengan dalil bahwa Majelis Hakim Niaga telah salah menerapkan hukum. Yaitu, menilai kewenangan mengadili perkara dan menyatakan ada kreditur PT. MK selain PT. BPE dan PT. MSM. Majelis Hakim Kasasi membenarkan keberatan PT. BPE dan PT. MSM dalam hal Pengadilan Niaga yang berwenang mengadili perkara ini. Majelis Hakim Kasasi berkesimpulan bahwa akibat hukum dari Arbitrase sebagai extra-judicial tidak dapat menyingkirkan dan kewenangan Pengadilan Niaga untuk menyelesaikan permohonan pailit berdasar Undang-undang No. 4 tahun 1998, meskipun lahirnya permasalahan pailit bersumber dari perjanjian hutang yang mengandung klausula Arbitrase. Alasannya, tatacara penyelesaian (settlement method) yang diajukan dalam bentuk permohonan pailit kepada Pengadilan Niaga adalah penyelesaian yang berkarakter extra-ordinary court melalui Undang-undang No. 4 tahun 1998, bukan tatacara penyelesaian yang bersifat konvensional melalui gugat perdata kepada Pengadilan Negeri. Permohonan kasasi dikabulkan dan memutuskan permohonan pailit dikabulkan, walaupun kemudian di tingkat permohonan Peninjauan Kembali, PT. MK berkeberatan karena Majelis Hakim Kasasi telah menerima dan mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan dengan telah melampaui tenggang waktu 8 (delapan) hari terhitung sejak tanggal putusan Pengadilan Niaga ditetapkan. Majelis Hakim Peninjauan Kembali mengindahkan lewatnya tenggang waktu 8 (delapan) hari itu dengan membenarkan apa yang didalilkan oleh PT. MK. Permohonan PK dikabulkan dan permohonan pailit ditolak.

III. KEPAILITAN, SENGKETA ATAS HAK YANG TIDAK DAPAT DIKUASAI SECARA BEBAS

Sebagaimana termaktub dalam Pasal 615 RV, yang dapat diserahkan untuk menjadi kewenangan Arbitrase adalah perselisihan mengenai hak-hak yang dapat dikuasai secara bebas oleh para pihak, artinya tidak ada ketentuan perundang-undangan yang telah mengatur hak-hak tersebut. Penegasan Ketentuan tersebut termaktub pula dalam Pasal 616 RV, yang menyatakan bahwa terhadap sengketa tentang hibah, perceraian, sengketa status seseorang dan sengketa lain yang diatur dengan ketentuan undang-undang tidak dapat diajukan penyelesaiannya melalui Arbitrase.

Dengan demikian, perkara kepailitan yang telah memiliki perundang-undangan khusus yang mengaturnya (Undang-undang Kepailitan) tidak dapat diselesaikan secara perdamaian melalui Arbitrase. Patut diperhatikan dalam Pasal 615 RV tersebut terdapat pengertian negatif terhadap persyaratan perdamaian, dimana disebutkan bahwa suatu perkara yang telah ditentukan dalam KUH Perdata ataupun KUH Dagang memerlukan kuasa dengan suatu keputusan hakim untuk melakukan perdamaian. Disebutkan selanjutnya dalam Pasal 1852 KUH Perdata bahwa “untuk dapat mengadakan suatu perdamaian, seseorang harus berwenang untuk menetapkan haknya atas hal-hal yang termaktub dalam perdamaian itu”, dengan analogi atas ketentuan tersebut terhadap permohonan kepailitan dimana prinsip dasar hukum kepailitan adalah untuk melindungi keseluruhan hak setiap kreditor secara pari passu terhadap harta pailit debitor (Pasal 1131 KUH Perdata) maka secara logis permohonan pailit tidak dapat dilakukan perdamaian dan diselesaikan secara parsial oleh masing-masing kreditor, khususnya melalui Arbitrase. Hukum kepailitan, sebagaimana telah ditegaskan sebagai special law, menghindarkan terjadinya saling rebut antara para kreditor terhadap harta debitor.
Pada dasarnya, hukum kepailitan merupakan kesepakatan bersama antara debitor dengan para mayoritas kreditor untuk menyelesaikan segala kewajiban debitor melalui pemberesan harta pailit. Eksistensi hukum kepailitan ditentukan dari sistematika penyelesaian untuk membagi harta kekayaan debitor dalam hal debitor memiliki lebih dari seorang kreditor. Apabila seorang debitor hanya memiliki satu orang kreditor, maka hukum kepailitan menjadi kehilangan raison d’etre­, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1131 KUH Perdata yang menjelaskan bahwa segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitor, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan perorangan debitor itu, dengan demikian, debitor yang hanya memiliki seorang kreditor saja dapat langsung meminta pemberesan piutangnya terhadap debitor tersebut melalui proses gugat-menggugat perdata pada Pengadilan Negeri atau bahkan secara penyelesaian Arbitrase.

IV. KESIMPULAN

Membicarakan kompetensi Pengadilan Niaga berarti berbicara mengenai kewenangan absolut dan kewenangan relatif yang dimilikinya. Kewenangan absolut terkait dengan ruang lingkup kewenangan memeriksa yang dimiliki badan Peradilan maupun secara extra judicial court, sebagaimana tertuang dalam kesepakatan para pihak dalam klausula Arbitrase. Sementara kewenangan relatif terkait dengan pembagian kekuasaan mengadili antara Pengadilan serupa, tergantung dari tempat tinggal tergugat. Bukan tidak mungkin kedua kewenangan Pengadilan Niaga tersebut kerap bertautan dengan Pengadilan Negeri dan juga Arbitrase.

Eksistensi Pengadilan Niaga, sebagai Pengadilan yang dibentuk berdasarkan Pasal 280 ayat (1) Perpu No. 1 tahun 1998 memiliki kewenangan khusus berupa yurisdiksi substansif eksklusif terhadap penyelesaian perkara kepailitan. Dengan status hukum dan kewenangan (legal status and power), Pengadilan Niaga memiliki kapasitas hukum (legal capacity) untuk menyelesaikan permohonan pailit. Yurisdiksi substansif eksklusif tersebut mengesampingkan kewenangan absolut dari Arbitrase sebagai pelaksanaan prinsip pacta sunt servanda yang digariskan dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang telah memberikan pengakuan extra judicial atas klausula Arbitrase untuk menyelesaikan sengketa para pihak sebagaimana telah diperjanjikan.

Selain itu, sebagai kesepakatan bersama antara para kreditor untuk menyelesaikan utang-piutangnya dengan debitor melalui pemberesan harta pailit, prinsip dasar hukum kepailitan adalah untuk melindungi keseluruhan hak setiap kreditor secara pari passu terhadap harta pailit debitor (Pasal 1131 KUH Perdata). Permohonan pailit tidak dapat dilakukan perdamaian dan diselesaikan secara parsial oleh masing-masing kreditor, khususnya melalui Arbitrase. Hukum kepailitan, sebagaimana telah ditegaskan sebagai special law, menghindarkan terjadinya saling rebut antara para kreditor terhadap harta debitor.

Tidak ada komentar: