sekedar ungkapan, pernyataan, guyonan, makian kadang cacian....

Kamis, 14 Juni 2007

Dar..Der..Dor…Suara Senapan….(di Pasuruan…!)



Tgl : 14 Juli 2007


Pukul : 14:16 WIB



"Dar...der..dor...Suara Senapaaan....! Aneh ya Negeri ini, kayak saya, tentaranya sudah pada males mikir kali ya? rakyat sendiri di kira hit point...? Ini kah hasil restribusi dan pajak yang dibayarkan selama ini? dikembalikan dengan peluru..."




Pasuruan Rusuh, 4 Orang Dikabarkan Tewas
Rabu, 30 Mei 2007 | 14:02 WIB

TEMPO Interaktif, Pasuruan: Peristiwa berdarah kembali terjadi di Pasuruan, Jawa Timur. Kali ini terjadi ketika warga Desa Alas Tlogo, Kecamatan Weling, Pasuruan terlibat bentrokan dengan anggota TNI Angkatan Laut pada Rabu (30/5) siang.

Bentrokan ini akibat sengketa tanah antara warga Alas Tlogo dan TNI Angkatan Laut. "Warga yang tewas akibat tertembak senjata TNI Angkatan Laut," kata Ketua DPRD Pasuruan Ahmad Zubaidi di Pasuruan pada Rabu (30/5).


"Ah malas baca postingan beginian lagi...dah banyak yang review...", mungkin itu benak yang terbersit pertama kali ketika membaca halaman ini, ya wajar saja, selain kawan saya sendiri juga sudah memasukkannya ke halamannya dan tentu isu terkini seperti ini sudah terulas dengan baik dalam gaya wadehelism, posisi kasus ini juga telah menjadi polemik yang menggelinjang menggelinding tak tentu arah bak bola liar. Sebenarnya saya masih menunggu adanya ocehan brilian dalam dunia maya yang menjelaskan gerak peristaltik parabolik peluru dan menyimpulkan apakah peluru berasal dari tembakan langsung horizontal, lengkungan vertikal atau seperti dugaan pembesar TNI AL yang senada bernyanyi "...kematian warga dikarenakan pantulan peluru (richocet)...."



Dengan mencoba menarik diri keluar dari pembahasan polemik asal peluru tersebut , serta sebagai obligasi moral atas ijazah yang menggantung lama di rumah atau karena tidak ada kerjaan di kantor yang sedang di tinggal oleh atasan Seminar di Bangkok, ocehan ini hanya sekedar ingin membahas perkara apakah kasus ini -apabila nyata bisa dibawa ke dalam ruang persidangan- dapat diselesaikan melalui mekanisme pengadilan koneksitas dengan tuntutan independensi dan obyektifitas terhadap perkara yang memang penuh dengan nuansa pidana ini.



Secara terbuka, sejumlah kalangan mengungkapkan desakannya untuk menyelesaikan kasus ini melalui pengadilan konesitas, salah satu diantaranya sebagaimana diutarakan oleh Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Polisi Sisno Adiwinoto yang mengungkapkan akan menangani kasus tersebut melalui Pengadilan Koneksitas sesuai dengan Pasal 89 KUHAP mengatur mengenai Pengadilan Koneksitas. Gagasan untuk membawa kasus tersebut ke hadapan Pengadilan Koneksitas secara dini telah mendapatkan tantangan langsung dari Panglima TNI Marsekal Djoko, yang menyatakan akan membuka seluruh tahapan proses peradilan pada Pengadilan Militer sebagai jaminan terhadap independensi dan objektifitas.



Terlepas dari gugatan batin terhadap keberanian Kepolisian untuk menunjukkan sikap proaktif sebagai pintu pertama jalannya proses peradilan negeri ini, juga kemauan TNI untuk menunjukkan perubahan paradigma kelembagaan dan tunduk kepada mekanisme peradilan sipil sebagai ciri negara civil society yang diagung-agungkan oleh zaman reformasi ini, mari kita tengok sejenak pengertian dari Pengadilan Koneksitas, bentuk dan penerapannya dalam sistem hukum Indonesia, termasuk pula apakah dapat diterapkan dalam permasalahan Pasuruan ini.



A. Pengertian Pengadilan Koneksitas



Sebelum bermain terlalu jauh, mari definisikan sebentar pengertian dari Pengadilan Koneksitas. Menilik pemberitaan berbagai media massa belakangan ini, terutama paska menyeruaknya kasus penembakan di Alas Tlogo, Pasuruan, istilah Pengadilan Koneksitas tampak sekali didengungkan sebagai sebuah entitas yang paling layak untuk menangani perkara tersebut. Seharusnya pemberitaan tersebut lebih berhati hati dalam menekankan istilah tersebut, karena sesungguhnya Pengadilan Koneksitas tidak bermakna sebagaimana dengan badan peradilan umumnya.



Secara istilah, Pengadilan Koneksitas memiliki pengertian sebagai suatu syarat kewenangan mengadili dari dua lembaga peradilan, yaitu antara badan peradilan yang berada pada lingkup peradilan umum dengan peradilan militer. Definisi tersebut tercermin dalam Pasal 24 Undang undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi:


"Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali dalam keadaan tertentu menurut keputusan Ketua Mahkamah Agung perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer"


Dari penjabaran pasal tersebut, dimengerti bahwa konsepsi koneksitas adalah persyaratan untuk mengadili suatu tindak pidana dilakukan oleh pelaku yang termasuk yustiabel kepada Peradilan Militer sekaligus pula pada Peradilan Umum. Demikian pula serupa, konsepsi yang ditawarkan oleh Pasal 89 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Apa yang harus dipahami disini adalah adanya pelaku jamak yang terdiri dari individu sipil maupun militer yang secara bersamaan melakukan tindak pidana (kejahatan) sehingga menimbulkan adanya friksi kewenangan antara badan peradilan umum dengan badan peradilan militer.



Disinilah kembali terjadi kesalahan masal yang alpa untuk dikemukakan kepada publik, bahwa sesungguhnya Pasal 89 KUHAP tidak menutup kemungkinan dalam syarat koneksitas yaitu apabila dalam sebuah perkara yang melibatkan pelaku jamak yang yustiabel untuk di sidang melalui peradilan umum dan peradilan militer, setelah melalui penelitian bersama oleh jaksa atau jaksa tinggi dan oditur militer atau oditur militer tinggi, didapatkan hasil titik berat kerugian terletak pada kepentingan militer, maka perkara dimaksud harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan militer. Hasil penelitian tersebut dapat menjadi dasar bagi Oditur Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia untuk mengusulkan kepada Menteri Pertahan dan Keamanan, sehingga dengan persetujuan Menteri Kehakiman dikeluarkan keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan yang menetapkan, bahwa perkara pidana tersebut diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.



Artinya, usulan untuk membawa sebuah perkara dengan nuansa syarat koneksitas, tidak serta merta langsung dapat membawa perkara tersebut untuk diadili di hadapan peradilan umum. Karena, pengajuan suatu perkara dengan nuansa koneksitas tersebut haruslah melalui proses pertentangan dan adu argumen antara Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan dan Oditur Militer untuk menegaskan siapa yang berwenang mengambil alih kasus dimaksud dengan dasar kepentingan mana yang paling dirugikan dan akan dibawa kemana perkara tersebut untuk diadili.


Sehingga, yang harus dikhawatirkan dan menjadi fokus perhatian adalah proses pembuktian titik berat kerugian itu sendiri, sehingga dapat diperoleh gambaran yang tegas terkait kepentingan mana yang dirugikan dari suatu perkara dimaksud, hal tersebut telah ditegaskan dalam Tap MPR No. VII tahun 2000 tentang peran TNI dan Polri Pasal 3 Ayat 4 (a) yang menyatakan, prajurit TNI harus tunduk kepada kekuasaan peradilan militer, dalam hal pelanggaran hukum militer, dalam hal pelanggaran hukum pidana umum tunduk kepada kekuasaan peradilan umum.



B. Bagaimana Dengan Kasus Pasuruan?


"Aha...akhirnya saya mulai berspekulasi...."


Maapin Ga Punya Yang Karikatur Pasuruan


"Sok di lanjutin....maap gambarnya aceh lagi...ga punya yang pasuruan!"



Selasa, 05 Juni 2007




"Headline Koran Tempo




Tragedi Pasuruan Layak Maju ke Pengadilan HAM



Sebanyak 13 tersangka penembakan segera diserahkan ke Oditur Militer.



JAKARTA - Lembaga pemantau perkara kemanusiaan, Imparsial, menilai kasus penembakan terhadap warga Desa Alas Tlogo, Pasuruan, adalah pelanggaran yang layak diajukan ke pengadilan hak asasi manusia. "Ini termasuk kejahatan kemanusiaan," ujar Direktur Eksekutif Imparsial Rachland Nasidiq kemarin."


Ya, desakan untuk membawa persoalan penembakan warga desa Alas Tlogo ke Pengadilan Hak Asasi Manusia telah terasa. Tersebut di atas bahwa Direktur Eksekutif Imparsial Rachland Nasidiq menyatakan kasus penembakan tersebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity -"bahasa gw...sok keren amat seech!").


Kembali, mari kita bermain pada persyaratan untuk dapat membawa kasus penembakan warga desa Alas Tlogo Pasuruan tersebut ke hadapan Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pertanyaannya adalah; Bagaimana caranya? Tentu jawaban tersebut dapat diperoleh dengan memahami lembaga mana yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran HAM. Amanat Pasal 104 Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memandatkan dibentuknya Pengadilan Hak Asasi Manusia di dalam lingkungan lembaga Peradilan Umum. Sesuai dengan amanat itu, maka pada tanggal 23 November 2000 diundangkan lah Undang-undang No. 26 tahun 2000 yang mendasari berdirinya Pengadilan Hak Asasi Manusia. Adapun lingkup kewenangan mengadili Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat.


Adapun jenis kejahatan yang dapat diperiksa, diadili dan diputuskan oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia terdiri dari:





  1. Kejahatan genosida yaitu setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, termasuk diantaranya:

    1. Membunuh anggota kelompok;

    2. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;

    3. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagian;

    4. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok atau;

    5. memindahkan secara paksa anak anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.



  2. Kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan itu ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil yang berupa:

    1. Pembunuhan;

    2. Pemusnahan;

    3. perbudakan;

    4. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;

    5. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;

    6. penyiksaan;

    7. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;

    8. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;

    9. penghilangan orang secara paksa; atau

    10. kejahatan apartheid.




Sekilas dapat dikatakan perkara Alas Tlogo dapat masuk sebagai kewenangan mengadili Pengadilan Hak Asasi Manusia, karena dipahami bersama terjadi pembunuhan terhadap 4 warga sipil di tempat tersebut. Lantas, dari definisi lingkup kewenangan mengadili tersebut apakah dengan demikian perkara penembakan warga Alas Tlogo dapat dimeja hijaukan di hadapan Pengadilan Hak Asasi Manusia? Harus dipahami pula pemenuhan syarat suatu perbuatan pidana dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan unsur pemidanaan tersebut adalah:





  1. perbuatan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistemik

  2. serangan yang ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil


Nah, dari persyaratan di atas, apakah penembakan warga Alas Tlogo telah melengkapi unsur tersebut? Penyelidikan lebih lanjut masih harus dilakukan secara komprehensif, karena menjadi sebuah tanda tanya besar apakah penembakan warga Alas Tlogo oleh 13 anggota pasukan marinir memang deliberately intended secara sistematis dilakukan untuk membunuh dan memusnahkan seluruh atau sebagian warga Alas Tlogo. Walau dapat dikatakan secara kasat mata, pasukan marinir yang pada awalnya dikatakan datang hanya untuk mengamankan jalannya unjuk rasa warga atas penggarapan tanah mereka secara paksa, ternyata malah dipersenjatai lengkap dengan senjata laras panjang.


Selayaknya, patut untuk menjadi suatu beban pembuktian terkait unsur kesengajaan dan sistematisnya perbuatan tersebut, karena apabila tidak terbukti, maka penembakan tersebut lantas hanya menjadi suatu perbuatan pembunuhan terencana biasa sebagaimana tertera dalam Pasal 340 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan kehilangan sifat extra ordinary crime beyond humanity yang menjadi esensi dasar suatu perbuatan kejahatan layak disebut sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusi. Atau meminjam pengertian Muladi dalam makalahnya di Jurnal Demokrasi dan HAM, yang menyebutkan bahwa pelanggaran Hak Asasi Manusia berat merupakan extra-ordinary crimes yang memiliki kualifikasi perumusan dan sebab timbulnya kejahatan yang khusus dan berbeda dengan kejahatan atau tindak pidana umum, sehingga KUHP tidak dapat menjerat secara efektif.



Jadi, cukup jelaslah kiranya keharusan dan keberanian dari berbagai pihak untuk mengungkapkan unsur-unsur pelanggaran HAM pada kasus penembakan warga Alas Tlogo, Pasuruan, sehingga cerminan negara demokrasi dan menjunjung tinggi supremasi hukum dan melindungi Hak Asasi Manusia sebagaimana diagung agungkan oleh zaman mbelgedes reformasi ini dapat menjadi nyata.




"Tegakkan Keadilan Walau Langit Runtuh Menimpa Bumi.....Viva Justicia...!"

1 komentar:

Anonim mengatakan...

hi kata_radityo,

just s friendly reminder that if your moji is sleeping, inactive or simply not displaying the correct emotion, you must login to your MojiKan account and regenerate the i-widget code. This is bec. we have changed the mood-me process and users have to copy and paste the widget code again to their blog sites.

thanks so much!!

Mojikan